Rabu, 16 September 2009

Dinar dan Dirham dalam Perspektif Muamalat Umat Islam

Dinar dan Dirham cukup dikenal dalam dunia Islam. Dinar adalah uang emas dan Dirham adalah uang perak. Dinar dan Dirham dijaman Rasul merupakan alat tukar yang ternyata lebih memiliki keunggulan ketimbang mata uang yang lain.

Bentuknya ideal dan lebih standar. Alkisah mengabarkan bahwa mata uang ini sudah digunakan sejak 46 SM yang diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Rumawi. Walau demikian Islam tidak melarang menggunakan mata uang tersebut, dan bahkan Rasulullah menggunakan mata uang ini untuk keperluan ibadah maupun muamalah. Dalam perjalanan sejarah Rasul ketika berdagang, juga menggunakan mata uang ini.

Dari zaman Rasulullah uang dinar terus mengalami perkembangan pesat sampai Pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, dimana beliau berhasil memperluas hubungan dengan dunia barat, mata uang dinar dan dirham ini dikukuhkan menjadi mata uang resmi untuk alat tukar. Pada saat itu telah pula ditetapkan perbandingan berat dinar dan perak yaitu 7 dinar beratnya sama dengan berat 10 dirham.

Dan terus dilakukan upaya untuk memperoleh standarisasi uang dinar, akhirnya diukurlah berat dinar dan ditemukan hasilnya adalah bahwa 1 dinar beratnya mencapai 4.25 gram. Semua uang yang tersimpan dimusium diukur dan hasilnya sama yaitu 4.25 gram. Juga pengukuran berat dilakukan terhadap mata uang dirham, dan hasilnya ditemukan bahwa berat 1 dirham adalah 7/10 x 4.25 gram atau sama dengan 2.975 gram.

Seiring dengan perkembangan perekonomian saat itu khususnya dalam dunia Islam,maka selama tujuh abad, sejak abad ke 13 sampai awal abad ke 20, dinar dan dirham, penggunaannya kian meluas sampai kebenua Eropa bagian Selatan dan Timur dan selanjutnya menyebar sampai ke Afrika bagian Utara selanjutnya ke daerah-daerah Asia.

Dinar dan dirham selalu setabil mengingat uang tersebut dibuat dari hasil barang tambang yang memiliki nilai intrinsik sesuai dengan berat dinar dan dirham tersebut. Mengenai kadar emas pada uang dinar tak perlu ragu. Gunakan saja produk Gerai Dinar (GD) dimana GD telah memperoleh sertifikat Komite Akreditasi Nasional (KAN). Untuk mencetak dinar dan dirham harus kerja keras lebih dulu dengan melakukan penambangan emas yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Dengan menggunakan dinar dan dirham berarti kita telah membudayakan kerja keras dan bukan budaya instance atau cepat saji sebagaimana cepatnya menyajikan makanan produk Amerika. Berbeda dengan uang kertas yang dibuat tidak menggunakan kaedah-kaedah nilai suatu barang. Selembar uang kertas bisa saja diberi nilai seratus ribu rupiah atau satu juta, tetapi harga bahan kertas yang dibuat menjadi uang tersebut tidak sebanding dengan nilainya.

Tanpa kerja keras kita bisa mencetak uang berapapun yang kita mau. Apakah itu sama saja dengan mengajarkan kita semua untuk menjadi manusia tanpa kerja keras bisa memperoleh uang dengan nilai tinggi? Jika begini, cepat atau lambat akan tercipta budaya malas, dan masyarakat akan terinspirasi dengan budaya cepat saji (instance).

Jika suatu Negara, kita misalkan Indonesia, mencetak uang rupiah melebihi nilai dari kekayaan yang dimiliki, mungkin akibat pihak otoritas selalu mengalami defisit anggaran atau disebabkan karena yang lain, yang dengan alasan tidak jelas akhirnya pihak otoritas memilih mengambil jalan pintas dengan mencetak uang tanpa menyesuaikannya dengan kekayaan Negara, maka tentu mata uang rupiah dengan sendirinya akan mengalami pergeseran nilai yang pada gilirannya rupiah tidak memiliki harga jual yang tinggi dibanding dengan dinar dan dirham.

Coba kita merenung sejenak kemasa-masa lalu kita saat kita masih anak-anak. Harga pisang goreng sekitar tahun 1963 sampai dengan 1966-an, satu rupiah bisa dapat 10 sampai dengan 15 potong goreng pisang. Sesuai dengan besar kecilnya dan tempat kita membeli. Sekarang harga goreng pisang mencapai tujuh ratus lima puluh rupiah sampai dengan dua ribu rupiah satu buah. Artinya bahwa penurunan nilai rupiah dari dulu sampai sekarang terus berlanjut dan berlanjut.

Jika kita amati banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan/inflasi nilai rupiah. Salah satunya angka korupsi yang terlalu tinggi menjadi salah satu pemicu terjadinya inflasi disamping rupiahnya yang belum teruji dengan munculnya beraneka macam kebijakan moneter yang sulit dapat dipahami. Andainya saja pihak otoritas moneter memilih dinar dan dirham menjadi mata uang kita, tentu pihak otoritas keuangan di Indonesia tidak dapat mencetak uang seenaknya. Karena untuk mencetak dinar, pihak otoritas moneter harus mendapatkan emas lebih dulu, itu artinya bahwa

Indonesia harus lebih bekerja keras untuk mendapatkan emas, baru bisa dicetak dinarnya. Kalau sekarang kapan pihak otoritas keuangan mau, ya langsung rupiah bisa dicetak dan tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan emas. Cukup dengan membeli kertas dan tintanya dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang menambang emas, maka sudah bisa mencetak uang berapapun yang diperlukan.

Lagi-lagi rakyat yang harus membayar mahal setiap pihak otoritas moneter mencetak uang. Karena dengan dicetaknya uang tanpa mempertimbangkan hal-hal yang tersebut diatas, maka sudah pasti terjadi penurunan nilai rupiah. Kalau sekarang saya punya uang satu juta bisa beli sepeda balap, maka setelah dicetaknya uang baru tersebut harga sepeda akan naik menjadi satu juta tiga ratus atau lebih. Begitulah seterusnya akan terjadi sampai anak cucu kita yang keseribu atau lebih, sampai pihak otoritas moneter di Indonesia ini, memilih mata uang yang telah teruji selama berabad-abad yaitu dinar dan dirham sebagai mata uang yang penggunaannya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Benarlah apa yang dikatakan para muballigh/at, bahwa Rasulullah itu contoh dan tauladan yang baik. Bukan saja contoh dan tauladan yang baik untuk urusan hubungan vertikal tetapi juga untuk urusan-urusan hubungan horizontal yaitu hubungan antara manusia kepada manusia dalam arti yang seluas-luasnya, mencakup persoalan sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan Ilmu pengetahuan.

Kembali kepersoalan dinar dan dirham, bahwa jika kita cermati, penggunaan dinar dan dirham telah menganut sistem keseimbangan. Uang apapun jenisnya, dan Negara manapun yang mencetaknya, harus selalu mempertimbangkan faktor keseimbangan antara harta yang dimiliki suatu Negara dengan uang yang akan dicetaknya. Keseimbangan merupakan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam.

Dinar dan dirham telah teruji kestabilannya walaupun juga fluktuatif, namun fluktuasinya tidak sedahsat mata uang yang lain, seperti rupiah. Bukan berarti mengecilkan mata uang rupiah, namun hanya sekedar melakukan studi banding antara rupiah dengan dinar yang memiliki keseimbangan antara nilai mata uang dinar dengan emas yang terkandung dalam dinar tersebut. Disisi lain dinar merupakan cermin bagaimana sesungguhnya menata perekonomian suatu bangsa agar benar-benar dapat mensejahterakan seluruh warga negaranya.

Sumber :
Furqon Al-Banna
Penulis adalah: Direktur Pengkajian dan Pemberdayaan Ummah DPP Lembaga Pemantau Pendidikan Indonesia
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=18040:dinar-dan-dirham-dalam-perspektif-muamalat-umat-islam&catid=325:12-juni-2009&Itemid=217
17 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar